Literasi

Cadar Itu Ilmiah, Bukan Soal Islam Moderat Atau Radikal

Oleh: Darmawijaya*

OPINI, EDUNEWS.ID – Sejak Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta melarang mahasiswi yang menggunakan cadar di kampus, isu cadar menjadi isu nasional yang hangat dibicarakan oleh masyarakat, termasuk di berbagai media sosial.

Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Yudian Wahyudi telah menandatangani Surat Edaran Nomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 perihal Pembinaan Mahasiswa Bercadar.

Surat edaran itu ditujukan kepada Dekan Fakultas, Direktur Pascasarjana, dan Kepala Unit atau Lembaga pada 20 Februari 2018. Mereka diminta untuk mendata dan membina mahasiswi bercadar dan data diberikan kepada Wakil Rektor III paling lambat 28 Februari 2018.

“Surat edaran dibuat untuk menertibkan kampus mengingat Kementerian Agama ingin kampus menyebarkan Islam moderat, yakni Islam yang mengakui dan mendukung Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.” Ujar Prof. Yudian dalam jumpa pers di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, senin, 5 Maret 2018. (Liputan 6. Com).

Prof. Yudian mengajak mahasiswi yang bercadar untuk kembali pada inti Al Quran, yaitu keadilan. Ia menegaskan, bahwa keadilan adalah pondasi peradaban dan Islam di sini adalah Islam yang adil. Ia melarang mahasiswi bercadar dalam rangka menyelamatkan kepentingan umum di atas kepentingan khusus. Ia mengingatkan agar warga kampus jangan sampai terjebak pada aliran-aliran radikal. (Liputan 6.com).

Sebagian besar tokoh Islam menilai bahwa cadar bagian dari keimanan seseorang, jadi tidak perlu dipermasalahkan. Pendapat mereka memang benar, bahwa cadar adalah bagian dari pelaksanaan keimanan dalam beragama dan itu mendapatkan perlindungan secara konstitusi dalam ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Realitas ini sangat memungkinkan, bagi pihak yang merasa dikorbankan bisa membawa masalah ini ke pengadilan, karena kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga ini melanggar konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu pasal 29 ayat 2 UUD 1945, yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya”.

Berdasarkan pasal 29 ayat 2 ini, maka perilaku menggunakan cadar dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) termasuk masuk dalam kategori “Beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”. Sejauh, mereka dalam menggunakan cadar itu berdasarkan sebuah kesadaran, bukan karena dipaksa oleh pihak-pihak tertentu.

Selain bertentangan dengan pasal 29 ayat 2 UUD 1945, kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga juga tidak dibangun di atas argumen Islam yang kuat. Argumen Islam Moderat, yaitu Islam yang mengakui Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika adalah argumen yang lemah.

Penulis justru melihat ada kontradiksi dalam argumen tersebut. Justru melarang menggunakan Cadar itu adalah salah bentuk tindakan yang tidak menghargai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika itu sendiri.

Seharusnya, cadar dimaknai sebagai salah satu unsur dari kebhinekaan itu sendiri. Ketika cadar diposisikan sebagai aliran radikal, maka kebhinekaan itu menjadi cacat, karena cadar bukan merupakan simbol radikal, namun cadar adalah bagian dari pengamalan dari pasal 29 ayat 2 UUD 1945.

Pancasila dan kebhinekaan bisa mengakomudasi orang-orang yang bukan Islam, namun mengapa Pancasila dan kebhinekaan tidak bisa mengakomodasi unsur-unsur Islam itu sendiri.

Kebijakan itu juga bertentangan Islam yang adil yang menjadi pondasi peradaban yang dibangun oleh UIN Sunan Kalijaga. Islam yang adil adalah Islam yang bisa menghargai kebhinekaan itu sendiri secara proporsional. Islam yang adil adalah Islam yang bisa menghargai dan tidak memaksa orang lain untuk memeluk agama Islam, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”, mari kita hidup saling menghargai dalam batas-batas yang proporsional. Itulah gambaran keadilan Islam.

Jika Islam bisa bersikap adil pada orang yang tidak mengakui Islam sebagai agamanya, terus mengapa Islam tidak bisa bersikap adil pada orang Islam sendiri yang ingin menggunakan cadar sebagai bentuk ibadah mereka kepada Allah Subhana Wata’ala dan anehnya lagi, larangan itu justru dikeluarkan oleh kampus yang menggunakan logo Islam.

Cadar Itu Ilmiah
Di luar argumen konstitusi, kebhinnekaan dan keadilan di atas, penulis ingin memperkuat argumen cadar, bahwa cadar itu tidak ada hubunganya dengan Islam Moderat dan Islam Radikal. Cadar itu Ilmiah dan bisa diuraikan secara ilmiah. Uraian ilmiah untuk memperkuat, bahwa cadar itu tidak ada hubungannya dengan budaya Arab dan ajaran Islam radikal.

Baca Juga :   Narkoba di Lutim: Antara Penegakan Hukum atau Permainan Penegak Hukum

Data-data memperlihatkan, bahwa saat ini perkembangan Islam di Eropa saat ini cukup pesat. Orang Eropa yang masuk Islam bukan dari orang awam yang tidak berpendidikan. Mereka berasal dari kalangan ternama, seperti ilmuan, pendeta, politisi dan selebritis.

Penulis memprediksi, bahwa muslimah Eropa di masa yang akan datang akan ikut menggunakan cadar. Mereka menggunakan badar bukan karena mereka ikut budaya Arab dan Islam Radikal. Mereka menggunakan cadar, karena mereka menyadari, bahwa cadar akan menjadi sebuah kebutuhan bagi mereka ketika mereka berada di ruang publik.

Mereka menyadari diri, bahwa sebagai perempuan, mereka sengaja diciptakan oleh Allah dalam keadaan indah. Keindahan itu adalah keindahan alami untuk menarik lawan jenis dalam memandang mereka. Wajah merupakan salah satu bagian tubuh perempuan yang sering menarik perhatian kaum laki-laki. Pertanyaan sainstifiknya adalah mengapa kaum laki-laki suka memandang kaum perempuan? Pertanyaan ini sudah dijawab oleh Allah, Tuhan yang telah menciptakan manusia berpasang-sangan di dalam Al Quran. Allah berfirman: “Dijadikan indah dalam pandangan manusia atas apa-apa yang mereka inginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak…” (Ali Imran, 3: 14).

Ayat ini menegaskan, bahwa dalam Hukum Penciptaan, perempuan itu memang diciptakan dalam keadaan yang indah sehingga kaum laki-laki mudah merasa tertarik pada nya. Apa tujuannya? Allah sebagai Tuhan Sang Pencipta, tentu lebih tahu atas apa-apa yang telah diciptakan-Nya, termasuk diciptakanNya perempuan dalam keadaan yang indah. Tujuannya tentu adalah tujuan yang positif, bukan tujuan yang negatif, yaitu untuk melengkapi kebahagiaan manusia itu sendiri agar manusia bisa lebih sempurna kebahagiaannya sebagai makhluk sekaligus khalifah Allah di muka bumi.

Apa akibatnya jika Allah tidak menciptakan perempuan dalam keadaan yang indah? Tentu akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia. Jika perempuan tidak diciptakan dalam keadaan indah, tentu sangat susah kaum laki-laki untuk merasa tertarik padanya. Jika kaum laki-laki tidak merasa tertarik pada kaum perempuan, maka akan sulit terjadi pernikahan. Apabila pernikahan sulit terjadi, maka manusia pun akan kesulitan dalam membangun peradaban.

Pada dasarnya semua perempuan itu diciptakan dalam keadaan indah, sehingga mampu menarik lawan jenisnya. Namun ada sebagian perempuan yang diberikan keindahan di atas rata-rata, sehingga sangat mudah menarik perhatian orang lain di ruang publik. Seringkali, jika perempuannya memiliki sifat pemalu, maka akan sering menunduk untuk menghindari mata nakal yang sering mengarah padanya.

Di dalam ajaran Islam, menggunakan cadar bukan sebuah kewajiban, namun penjelasan di atas, terutama bagi kaum perempuan yang memiliki keindahan wajah di atas rata-rata, tentu cadar akan menjadi sebuah “perlindungan ilmiah”, ketika mereka berada di ruang publik. cadar akan membuat kaum perempuan lebih nyaman di ruang publik untuk menjaga kenyamanan diri dari pandangan kaum laki-laki yang secara penciptaannya, memang menyukai sesuatu yang indah. Masalah itu sudah dikabarkan Allah dalam surat Ali Imran di atas.

Sebagai kesimpulan, penulis melihat, bahwa kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga sudah terjebak dengan istilah Islam Moderat dan Islam Radikal dalam melihat perilaku umat Islam. Seharusnya, perilaku umat Islam itu harus dilihat dari Al Quran dan Hadis Sahih, dua sumber utama ajaran Islam, bukan dari pendekatan Islam moderat, Islam Radikal, Islam Nusantara, Islam Timur-Tengah dan sebagainya.

Pendekatan yang paling tepat adalah bagaimana memahami Islam sesuai dengan sumber utamanya, yaitu Al Quran dan Hadis, serta lima hukum yang menyertainya, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram yang kemudian dikembangkan secara ilmiah, tanpa ada lagi embel-embel di belakangnya.

Semoga bermanfaat untuk tatanan dunia yang lebih sehat di masa yang akan datang. Aamiin.

Darmawijaya, S.S., M.Si. Direktur Lembaga Studi Ilmu Peradaban Islam (LSIPI) Maluku Utara & Dosen Ilmu Sejarah Universitas Khairun Ternate.

Edunews.

Kirim Berita

Kirim berita ke email : [email protected][email protected]

ALAMAT

  • Jl. TB Simatupang, RT.6/RW.4, Jati Padang, Kec. Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540 Telepon : 021-740740  – 0817 40 4740

__________________________________

  • Graha Pena Lt 5 – Regus Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Makassar Sulawesi Selatan 90234 Telepon : 0411 366 2154 –  0811 416 7811

Copyright © 2016-2022 Edunews.ID

To Top
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com