Literasi

Menebak Arah Penegakan Hukum

Oleh: Melki AS.*

Dimasa lalu kita patuh pada raja dan menundukkan kepala dihadapan kaisar, sekarang kita berlutut hanya didepan kebenaran, mengikuti hanya pada keindahan dan patuh hanya pada cinta (Kahlil Gibran)
I’m for truth, no matter who tells it. I’m for justice, no matter who it is for or against. I’m a human being, first and foremost, and as such I’m for whoever and whatever benefits humanity as a whole (Malcolm X)

OPINI, EDUNEWS.ID – Berbicara penegakan hukum di Indonesia memanglah rumit. Karena tak banyak dari ratusan juta masyarakat di negeri ini paham dengan hukum, mulai dari pasal-pasalnya, cara penindakannya, maupun konspirasi yang terjadi di dalamnya. Dan mengenai konspirasi yang membelit dalam ranah hukum itu sendiri adalah sesuatu yang menarik dan banyak dibicarakan di tengah-tengah masyarakat.

Misalnya, kita diperlihatkan dengan banyaknya peristiwa yang justru berkebalikan dari apa yang dipikirkan. Seperti adanya perbedaan dalam hukum tentang kasus pencurian yang dilakukan oleh koruptor, yang notabenenya dilakukan oleh pejabat atau orang yang memegang kuasa, kekuasaan dan modal dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh masyarakat kecil, yang notabenenya dilakukan oleh orang yang tidak dalam struktur kekuasaan ataupun tidak berada dalam percaturan arus modal.

Bahkan seringkali masyarakat menggerutu geram ketika sebuah berita mengabarkan bahwa ada seorang nenek yang mengambil buah kakao yang sudah jatuh kemudian harus di tahan beberapa waktu oleh kepolisian karena dituntut melakukan pencurian. Sementara pelaku korupsi seperti Gayus Tambunan yang senyata-nyatanya melakukan praktik kejahatan dengan menilap uang Negara secara sadar, meskipun telah di tangkap oleh kepolisian dan ditahan di lembaga pemasyarakatan, tetapi beliau masih bisa mengakses banyak hal seperti keluar jalan-jalan, nonton pertandingan tenis, keluar negeri bahkan makan-makan di restoran.

Melihat hal seperti ini, kadang kita berpikir bahwa apakah benar hukum ini sudah di tegakkan dengan dasar yang kuat dan kredibel. Karena sepertinya walaupun hal itu (penegakan hukum) selalu diajarkan sedari dini kepada masyarakat, tetapi tetap saja ketimpangan perlakuan terhadap penegakan supremasi hukum tersebut masih menampakkan kecacatannya. Atau lebih jauh lagi disebut konspirasi.

Kalau kita flashback ke beberapa persistiwa belakangan yang terjadi di bangsa ini, terutama tentang beberapa persitiwa yang melibatkan oknum tertentu dalam lingkaran penegakan hukum, maka sesaklah dada menyaksikannya. Kadang kita marah sekaligus kecewa menyaksikan bahwa ada penegak hukum seperti hakim atau jaksa yang tertangkap tangan oleh KPK sedang bertransaksi kasus.

Lalu ada juga oknum dari kepolisian yang terlibat peredaran narkoba. Lalu ada juga praktik kekerasaan yang dilakukan dan atau melibatkan para penegak hukum lain seperti tentara terhadap masyarakat sipil karena persoalan yang sepele. Dan macam-macam lagi kasus yang lainnya. Hal itu tentu mengindikasikan bahwa dalam lingkaran penegakan hukum kita memang masih belum banyak yang berubah.

Walaupun sudah ada upaya pembenahan kearah yang lebih baik. Karena dengan adanya kejadian atau peristiwa yang melibatkan oknum penegak hukum dalam berbagai tindak melawan hukum tersebut, adalah bukti kecolongan dari institusi tersebut. Institusi yang diharapkan masyarakat untuk dan agar mampu menegakkan setiap kebenaran dan keadilan.

Pertanyaannya kemudian adalah mampukah kita menatap penegakan supremasi hukum yang benar-benar baik, professional dan jujur kedepannya? Atau seperti kata Presiden Jokowi yang mengamanahkan agar melakukan reformasi mental, termasuk para oknum penegak hukum saat ini dan yang akan datang?
Semua orang bisa menjawab iya dan tidak. Tergantung pendapat masing-masing.

Bagi yang optimis mungkin alasannya karena melihat bahwa mulai ada keseriusan dari lembaga penegakan hukum kita untuk berbenah-benah ke dalamnya. Termasuk aktif mengkampanyekan diri insitusi sebagai percontohan. Tapi bagi sebagaian orang ada juga yang pesimis. Mungkin alasannya karena adanya peristiwa kongkalikong kejahatan yang terjadi justru melibatkan oknum penegakan hukum itu sendiri.

Artinya, dengan melihat adanya persekongkolan jahat yang dilakukan oleh oknum tertentu dalam lingkaran penegakan hukum, menjadikan orang antipati dan kemudian meragukan terjadinya reformasi mental yang diinginkan presiden. Karena ternyata hakim atau jaksa masih banyak yang terima suap dalam hal memutus perkara terhadap pelaku kejahatan seperti koruptor.

Kepolisian dan Tentara pun masih terlihat kekanak-kanakan kalau berbicara atau menanggapi sesuatu yang beririsan dengan institusi mereka tersebut. Seperti terlihat pada beberapa perseteruan yang terjadi seperti kasus cicak (KPK) versus buaya (Polisi).

Lalu ada lagi pemanggilan komisioner KPK saat lembaga anti rusuah ini melakukan investigasi dan audit ke seorang jenderal polisi terkait aliran rekening gendut sang jenderal. Dan yang terbaru adalah pemanggilan Direktur Eksekutif Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS) yang beberapa waktu lalu membuat tulisan yang pernah di dengarnya langsung dari terpidana mati Freedy Budiman, yang berkicau bahwa ada oknum di insitusi Kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berpangkat bintang dua yang ikut dalam permainan kejahatan yang mereka (Freedy) lakukan.

Bahkan pernah suatu ketika mereka berkendara dari Medan ke Jakarta dengan mobil dinas institusi penegak hukum. Dan orangnya (sang jenderal) duduk disampingnya.

Haris Azhar yang mencoba mengkomunikasikan hal itu ke publik dengan menuliskan peristiwa perckakapannya dengan gembong narkoba tersebut, dan mempostingnya dalam laman sosmed, akhirnya kini harus menunggu pemanggilan oleh aparat kepolisian untuk diperiksa apakah bisa dikenakan pasal hukum dalam undang-undang ITE tentang pencemaran nama baik.

Padahal dalam tulisan tersebut, menurut Haris Azhar, sudah sesuai dengan apa adanya yang dikatakan Freedy. Dan hal itu dibenarkan (ceritanya) oleh Kepala Lapas (KALAPAS) dimana termpat terpidana mati di eksekusi. Lebih jauh bahkan Kalapas membenarkan bahwa ada permintaan dari seseorang yang entah (aku-akuan saja) sebagai petugas BNN untuk mematikan kamera pengintai atau CCTV di tempat Freedy di tahan.

Kriminalisasi

Buntut penulisan cerita Haris Azhar tentang keterlibatan oknum penegak hukum dalam jaringan narkoba di Indonesia membuat kaget semua lembaga atau institusi penegakan hukum tersebut. Tampak di semua media yang mengabarkan perihal tulisan tersebut yang menyinggung keterlibatan institusi penegak hukum membuat yang tersinggung nama institusinya langsung bereaksi. Jumpa pers digelar. Diskusi talk show dihadiri semua. Semua petinggi institusi tersebut buka suara menentang isi yang ada di tulisan itu. Bahkan Haris Azhar di tantang untuk membuktikan kebenaran dari apa yang ditulisnya. Dan ujungnya, ketiga institusi tersebut bersepakat melaporkan ke kepolisian terkait tulisan itu, yang di sinyalir melanggar undang-undang ITE tentang pencemaran nama baik.

Walaupun ini disayangkan oleh banyak pihak, pegiat HAM, aktivis, akademisi, mahasiswa bahkan masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada kebenaran kicauan itu. Disinilah peristiwa ini menjadi kusut dan berpotensi terjadinya upaya kriminalisasi. Karena bukan tidak mungkin kedepannya nanti, orang akan sangat berhati-hati melaporkan sesuatu terkait tindak kejahatan. Karena bisa niat baik melaporkan sesuatu yang jahat tersebut berujung menjadikan sang pelapor tersangka. Terutama pencemaran nama baik. Dan ini sudah terjadi berulang kali. Apalagi kalau menyangkut oknum dari insitusi penegakan hukum itu sendiri.

Ada beberapa kasus yang akhirnya menyeret para pejuang kebenaran dalam pusaran pelik hukum karena berusaha menindak oknum yang ternyata adalah anggota bahkan petinggi dari insitusi penegak hukum itu sendiri. Dan berujung pada kriminalisasi. Contohnya, pernah suatu ketika terjadi kasus antara KPK dengan Kepolisian. Saat itu KPK mensinyalir dan sudah mengendus bahkan mendapatkan bukti keterlibatan si oknum tersebut dalam persekongkolan jahat penilapan uang Negara (baca; kasus rekening gendut polisi). Rupanya si oknum tersebut adalah seorang jenderal melati tiga dan calon kapolri. Suasana panas pun tak terhindarkan. Akibatnya, setelah sekian waktu kasus itu dikonsumsi publik, serta tekanan publik yang juga kencang dalam setiap aksi-aksi massa, oknum tersebut akhirnya dibatalkan pencalonannya untuk menjadi kapolri.

Presiden kemudian memilih langkah aman dengan menunjuk orang lain yang kriterianya sesuai prosedur yang menjadi pimpinan pucuk tertinggi dari institusi seragam coklat tersebut. Celakanya, cerita tidak serta merta berakhir. Kabareskrim baru kepolisian yang juga kolega dekat calon gagal kapolri tadi bertindak keras. Silang lapor pun akhirnya terjadi. Dan tiba-tiba saat salah satu komisioner KPK mengantarkan anaknya ke sekolah, beliau di jemput oleh aparat kepolisian dan langsung dibawa ke markas tanpa bisa mengganti baju sekalipun. Sontak kabar itu membuat geger seantero nusantara.

Lalu satu persatu para komisioner KPK di tangkapi dan dikenai pasal hukum yang sebenarnya bukanlah substansi. Termasuk juga para pegiat HAM, keadilan dan lain-lain yang mendukung langkah KPK untuk mengaudit kepolisian, semuanya jadi tersangka.

Pra peradilan pun memenangkan kepolisian dan menganggap laporan yang dilakukan KPk digugurkan. Masyarakat kecewa dengan semuanya. Sindiran bagi hakim yang menyidangkan pra peradilan yang dinilai berat sebelah, juga ikut di tangkapi dan dijadikan tersangka. Saat itu polisi dan pengadilan menang mutlak. Tidak ada yang bisa melawan mereka. Bahkan kapolri yang baru pun tidak berkutik. Tinggal masukan dari presiden saja yang bisa diharapkan untuk mengatasi perseteruan ini.

Selain juga dengan teriakan-teriakan massa dalam aksi-aksi dan mimbar-mimbar bebas yang menuntut agar Negara terutama presiden untuk mengambil kebijakan agar kriminalisasi bagi para aktivis dan penggiat keadilan dan kebenaran tersebut berakhir. Suasana kemudian mereda. Semua komisioner KPK akhirnya berganti.

Baca Juga :   Narkoba di Lutim: Antara Penegakan Hukum atau Permainan Penegak Hukum

Lalu ada lagi contoh persoalan lainnya yang disampaikan oleh seseorang yang menceritakan secara blak-blakan tentang kebenaran adanya praktik ‘nego’ yang dilakukan oleh oknum dalam institusi penegak hukum yang dialami langsung oleh orang tersebut. Hal itu disampaikannya di salah satu tayangan televisi swasta yang disiarkan secara live.

Beliau mengungkapkan bahwa beliau pernah mengurusi keponakannya yang terjerat kasus narkoba. Dan keponakannya tersebut ikut diajak dalam acara tersebut dan di tunujukkan langsung ke hadapan Kadiv Humas Mabes Polri yang juga ikut dalam acara televisi itu.

Awal cerita beliau menuturkan bahwa keponakannya membeli paper pembungkus rokok. Lalu disergap oleh polisi dan diminta untuk menunjukkan barang bukti. Padahal saat itu keponakannya tersebut tidak membawa apa-apa. Tapi karena didesak, akhirnya anak itu pulang dan mengambil ganja di rumahnya. Urusanpun jadi panjang. Dan polisi mengatakan bahwa denda dari kasus narkoba tersebut ratusan juta. Bahkan hampir miliar. Atau kurungan beberapa tahun. Sontak keluarga kaget. Lalu coba mendatangi kepolisian dan berusaha memberikan uang sebesar 20 juta. Tapi komandan menolak. Lalu kemudian hari balik lagi dan menyerahkan uang 120 juta. Barulah uang itu diterima dan segala berkas-berkas dibereskan.

Dan diakhir cerita, si bapak ini kembali menekankan bahwa beliau tidak ingin mengungkit-ungkit lagi peristiwa tersebut. Bahkan beliau tidak menyebutkan kepolisian disektor yang mana yang melakukan praktik seperti itu. Beliau hanya menekankan bahwa benar adanya praktik seperti itu di dalam institusi penegak hukum kita. Dan beliau pun berkemungkinan tulisan yang dibuat Haris Azhar bisa benar. Tapi bisa juga tidak.

Sekali lagi beliau menceritakan hal itu hanya untuk spirit pembenahan dalam internal kepolisian agar benar-benar bisa berbenah. Beliau sadar bahwa yang dilakukannya pun tidaklah juga benar.

Tapi hari ini diceritakan begitu untuk menambah spirit kepolisian agar lebih professional lagi kedepannya. Bukan untuk meminta kembali uang yang telah dipungut secara illegal tersebut. Akan tetapi jawaban yang diberikan polisi dalam menanggapi cerita si bapak tadi agak sedikit mengejutkan. Polisi langsung menanyakan tempat terjadinya. Dan yang lebih liar lagi adalah polisi mengatakan akan menindak semuanya termasuk yang melakukan suap. Artinya dua-duanya bisa dijadikan tersangka. Lagi-lagi, raut wajah pelapor berubah. Berharap baik dengan menceritakan kisah dimasa lalu, tapi malah ikut terancam.

Dan dikemudian hari, berkemungkinan tidak akan ada lagi yang mau melaporkan peristiwa atau kejadian yang dialami secara illegal yang dilakukan oleh oknum polisi ke kepolisian. Karena apapun menyangkut keterlibatan institusi kepolisian, bisa menjadi ancaman bagi diri sendiri. Seberapa pun baiknya niat yang ingin disampaikan. Wallahualam.

Hal yang terbaru adalah kicauan Freedy yang ditulis oleh Haris Azhar dari KontraS. Potensi kriminalisasinya juga tinggi. Apalagi setelah 3 insitusi yang disebut, melaporkannya dengan undang-undang ITE tentang pencemaran nama baik. Dan bukan tidak mungkin dalam waktu dekat beliau bisa di jadikan tersangka. Padahal beliau hanya menyajikan cerita yang dituturkan langsung oleh si terpidana mati itu. Dibenarkan pula oleh Kalapas nya.

Tapi, karena dianggap sengaja membuat gaduh situasi nasional dan mencemarkan nama baik institusi para penegak hukum tersebut dari tulisan yang dibuatnya, yang didengarnya langsung dari si gembong narkoba tersebut dianggap menghina institusi penegak hukum tersebut, beliau tetap terancam dipanggil untuk diperiksan bahkan bisa jadi tersangka.

Seharusnya yang aparat periksa bahkan kalau memang mau dijadikan tersangka, terlebih dahulu dengan melaui prosedur yang benar adalah orang yang menceritakan ikhwal keterlibatan oknum-oknum penegak hukum dari masing-masing institusi itu. Itupun kalau memang informasi yang diberikannya bersifat dusta.

Tapi kalau informasi itu benar adanya, maka sudah seharusnya para penegak hukum itu mengakui dan mencari fakta-fakta dari kebenaran tersebut agar bisa bersih-bersih institusi agar kembali bisa dipercaya masyarakat. Bukannya malah menyalahkan orang lain yang justru melakukan kritik.

Cara Haris Azhar menuliskan cerita itu bisa dibilang adalah kritik terhadap institusi Negara, terutama pada penegak hukum. Spiritnya agar lembaga Negara seperti Kepolisian, BNN maupun TNI bisa berbenah dan berubah lebih baik. Tulisan itu bukan untuk dimaknai sebagai penghinaan. Karena hal (tulisan) itu bisa dianggap penghinaan dan cerita bohong bilamana hal tersebut tidak ada saksinya. Sementara di masalah ini, Kalapas sendiri menyaksikan cerita itu sama antara yang ditulis oleh Haris Azhar dan yang di ceritakan oleh si gembong narkoba tersebut.

Seharusnya kalau Kepolisian, BNN dan TNI mau mempermasalahkan hal itu, orang yang punya cerita itu yang dipanggil dan diperiksa dan dituntut untuk membuktikan kebenaran ceritanya. (Tapi sayang, orangnya sudah di eksekusi mati). Bukan malahan orang lain yang membuat tulisan dari ceritanya itu yang disalahkan.

Karena tulisan itu adalah penyambung aspirasi publik ke insitusi terkait dalam rangka konstruksi imej dan kinerja yang baik. Artinya Haris hanya menulis apa adanya saja. Karena kalau setiap informasi buruk, terutama yang menyangkut institusi penegak hukum, dianggap penghinaan, bukan dianggap kritik membangun, maka takkan ada lagi orang atau lembaga yang bisa mengontrol lajunya penegak hukum dalam (kemungkinan) mensewenang-wenangkan fungsinya.

Dan inilah masalah bangsa kita ini dari dahulu sampai sekarang, dari hulu sampai ke hilir. Setiap hal, dari informasi sampai ke kasus yang menyeret penegak hukum itu sendiri, terbiasa impunitas. Rakyat yang mengkritik, rakyat yang jadi pesakitan. Kritik yang dibuat Haris Azhar dari cerita seseorang, dianggap tidak berdasar dan bohong. Malah berpotensi menjadikannya tersangka. Yang lebih parah adalah, malahan beliau sendiri yang disuruh untuk mencari bukti-buktinya.

Lalu pertanyaannya adalah, apakah memang Haris Azhar yang sebagai masyarakat sipil cum aktivis itu yang harus mencari fakta dari cerita tulisan yang dibuatnya, yang menyenggol keterlibatan oknum penegak hukum dalam tindak kejahatan narkoba? Dan kalau setiap ada kritik, saran atau semacamnya yang menyangkut institusi penegak hukum itu sendiri, maka yang melakukan kritik, saran dan semacamnya itu yang harus mencarikan faktanya? Kalau seperti itu, institusi penegak hukum kita ini kerjanya apa? Dan bukankah yang berwenang dalam pemberantasan kejahatan adalah pihak penegak hukum itu sendiri, yang sedari awal memang sudah jadi tugas dan tanggungjawab mereka. Termasuk mengecek apakah fakta dari kebenaran itu ada atau tidak. Bukannya kelabakan dan kebakaran jenggot saat institusinya di kritik. Justru kalau memang disinyalir di institusi tersebut adanya praktik kejahatan yang dilaporkan dari masyarakat, mereka harus mengecek dan mendata ulang serta memverifikasi kebenarannya. Biar semuanya jelas dan clear. Bukannya menutup-nutupi, apalagi kalau hal tersebut menyangkut atasan yang berpangkat tinggi. Karena setiap yang berada di wilayah Indonesia, siapapun itu, tidak ada yang kebal hukum. Itulah professionalitas.

Dan menyalahkan orang yang berupaya mengungkap kebenaran adalah sinyalemen buruk dalam penegakan supremasi hukum di Negara ini. Karena menyalahkan orang yang menyuarakan kebenaran adalah bahaya laten yang harus terus diwaspadai. Karena terkadang justru yang berbahaya itu bukan saja pada orang atau personnya, tetapi buntut dibelakangnya yang bisa mengakibatkan terbunuhnya sikap kritis atas kekuasaan negara serta menyebarkan teror dan ketakutan kepada publik.

Cara-cara ini pernah dilakukan pada jaman Orde Baru dengan melakukan kriminalisasi atas suara-suara kritis. Bila figur publik seperti Haris Azhar, yang memimpin KontraS, sebuah organisasi HAM yang kredibel didalam dan luar negeri, sudah diberi ancaman oleh negara, maka pintu otoritarianisme semakin terbuka lebar untuk rakyat lainya yang jauh lebih rentan dan tak berdaya. Ancaman terhadap Haris Azhar jelas merupakan juga ancaman bagi kita semua, terutama bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi. Karena kita tidak ingin kembali hidup dalam era otoritarianisme.

Tapi, lagi-lagi, inilah lucu negeri ini. Kita selalu saja diajak melihat adegan seperti di film action, yang keseluruhannya tak lebih adalah acting keberpura-puraan. Sehingga susah bagi kita untuk membedakan mana yang aseli dan mana yang palsu, mana orang pintar dan mana yang sok-sok-an pintar. Sehingga akhirnya berat untuk membedakan mana fakta dan mana kebohongan, mana kritik dan mana fitnah. Dikira, seragam itu adalah segala-galanya. Dan kerap kali padahal yang melakukan kejahatan dari institusi tersebut hanyalah oknum. Tapi getahnya sampai kemana-mana. Itu yang sangat disayangkan.

Karena kita juga masih yakin bahwa masih banyak penegak hukum lainnya yang baik dan professional. Dan penegak hukum yang baik tidak akan mengkriminalisasikan penggiat dan penyuara kebenaran. Apalagi memberlakukan pengungkap kejahatan sebagai penjahat. Seharusnya kalau aparat itu merasa bersih dan tidak terlibat jaringan kejahatan narkoba, maka jangan takut untuk menunjukkan bukti. Karena kejujuran penegak hukum itulah panutan rakyat untuk percaya pada penegakan hukum. Kalau penegak hukumnya terlibat dalam aksi kejahatan,maka rakyat akan kehilangan tempat untuk mengadu dan melabuhkan kepercayaan.

Melki AS. Pegiat Social Movement Institute (SMI)

Edunews.

Kirim Berita

Kirim berita ke email : [email protected][email protected]

ALAMAT

  • Jl. TB Simatupang, RT.6/RW.4, Jati Padang, Kec. Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540 Telepon : 021-740740  – 0817 40 4740

__________________________________

  • Graha Pena Lt 5 – Regus Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Makassar Sulawesi Selatan 90234 Telepon : 0411 366 2154 –  0811 416 7811

Copyright © 2016-2022 Edunews.ID

To Top
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com