JAKARTA, EDUNEWS.ID – Financial Times, Selasa (6/3/2018), mengungkapkan emerging markets dalam tekanan akibat bertambahnya utang. Dengan meningkatnya inflasi, suku bunga, dan tren penguatan dollar AS, maka kemampuan membayar dari melonjaknya utang dipertanyakan.
Robertson dari Renaissance Capital, mengatakan jika melihat tingkat suku bunga AS yang lebih tinggi dan dollar AS yang kuat, itu akan menjadi risiko ganda bagi mereka yang telah menarik banyak utang dollar. Alasan meningkatnya kekhawatiran itu sangat jelas.
Di antara grup 21 pasar berkembang yang dimonitor Institute of International Finance (IIF), gabungan outstanding utang dari rumah tangga, pemerintah, korporasi, dan lembaga keuangan meningkat dari sekitar 290 persen terhadap gabungan PDB pada akhir 1990-an, menjadi 380 persen pada akhir 2008. Setelah itu, angka tersebut tidak banyak berubah.
Namun, setelah krisis, utang negara emerging markets melonjak. Di Tiongkok, rasionya naik dari 171 persen terhadap PDB pada akhir 2008 menjadi 295 persen di akhir September tahun lalu. Khusus untuk Tiongkok dan Korsel, rasio itu tidak menunjukkan rendahnya kesehatan ekonomi negara itu.
Sebab, Tiongkok memiliki cadangan devisa 3,14 triliun dollar AS dan menjadikan negara itu sebagai kreditur dunia, bahkan pemilik terbesar obligasi pemerintah AS.
Bagi Indonesia yang menjadi negara debitur (lebih banyak berutang), parameter rasio utang tidak relevan menunjukkan kesehatan ekonomi negara. Ukurannya adalah kemampuan membayar kembali utang tersebut. Saat ini, Indonesia harus menerbitkan SBN yang berbunga, hanya untuk membayar bunga utang lama.