JAKARTA, EDUNEWS.ID – Seorang guru SMPN 1 Cijalingan, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat berinisial E jadi sasaran kemarahan aparat desa usai mengunggah foto jalan rusak ke Facebook. Mereka tidak terima karena E asal mengunggah saja di media sosial tanpa lapor dulu ke pejabat setempat.
Video marah-marah itu jadi viral, banyak netizen yang membela Eko. Sebenarnya bagaimana masyarakat bersikap kalau menemukan jalan rusak?
Menurut Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Lisman Manurung, yang dilakukan E tidak salah. Siapapun bebas menyampaikan pendapatnya di media apapun.
“Era good governance ini mempunyai komponen akuntabilitas. Akuntabilitas itu ialah kesediaan kita untuk diukur oleh siapa saja. Pembantu pun boleh kita dengar opini nya,” ujar Lisman kepada detikcom, Jumat (12/3/2021).
Sedikit berbeda dari Lisman, menurut Analis Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, bila masyarakat hendak melaporkan sesuatu tentang fasilitas publik ada baiknya menghindari posting di media sosial. Khawatir, ada saja nanti pihak yang menjadikan hal itu sebagai bukti pencemaran nama baik dan aduan sejenis lainnya.
“Kalau upload di media sosial bisa salah, karena itu bisa menimbulkan penghinaan, pencemaran nama baik, begitu, kan di UU ITE itu di pasal 27 seperti itu, kalau kontennya itu mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik bisa kena pidana,” kata Trubus.
Jadi sebaiknya masyarakat, kata Trubus, menghindari mengunggah aduan-aduan serupa di medsos. Masyarakat diminta melapor langsung saja ke pejabat daerah setempat seperti RT, RW, lurah atau ke Kepolisian setempat. Bila ingin lebih didengar, bisa melapor ke lembaga bantuan hukum.
“Kalau tidak bisa juga ya buat gugatan warga, itu pakai LSM atau LBH, nanti LBH melaporkan,” ujarnya.
Apalagi, menurut Trubus, ada sanksi hukum bagi pemerintah bila terbukti membiarkan jalan rusak. Seharusnya, bila sudah diadukan ke pejabat daerah setempat namun tidak digubris, lebih mudah diperkarakan.2009
Adapun aturan yang dimaksud tertuang dalam UU No. 22 Tahun tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal 24 ayat (1) UU tersebut disebutkan bahwa penyelenggara wajib segera dan patut untuk memperbaiki jalan rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.
Lalu, bila belum dilakukan perbaikan jalan yang rusak maka, penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Pada pasal 273 UU tersebut disebutkan bahwa setiap penyelenggara jalan tidak segera memperbaiki jalan rusak tersebut dan mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dipidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp 12 juta.
Kemudian kalau sampai mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana kurungan maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta. Jika korban meninggal dunia, dapat dipidana penjara hingga 5 tahun atau denda paling banyak Rp 120 juta.
dtk